Jumat, 20 Desember 2013

SIR ALEX FERGUSON


No more hairdryer ?

   Growing age and expanding of period always proscuted an revolution, in managing a team, that is valid. That is one of interesting about sir alex ferguson, manchester united’s manager, expressed in a working paper by the title  sir alex ferguson :managing manchester united, created by tom dye and professor anita elberse from harvard business school, usa.
The revolution especially for managing players. Ferguson says that he has left hairdryer treatment’s method to his players. “players life with many protect those make them more sensitive then 25 years ago” said fergie.
Fergie expressed, “previously,i’m very aggressive, i wish always win. But, i’m gently, now. I could be better for managing sensitive’s player. There are many talks about anger and hairdryer. I couldn’t scream and abuse. Those are useless”.
So far, fergie’s famous with hairdryer treatment in dressing room. “ no more nastier then get the hairdryer from sir alex. When it’s happened, he was standing at hall while snapping at me, right to my face. Feels like my head in front of  babyliss turbo power 2200. Really horrified !” told wayne rooney in his book, my decade.
For fergie, method revolution are important, cause he should face of players that millionaire. Something most important that always controls. “ you shouldn’t lose control” fergie.

Kamis, 19 Desember 2013

something we should know



Oke, berhubung ini postingan pertama blog saya, jadi saya akan membagikan sebuah kisah yang (menurut saya) sangat inspiratif, saya mengutip cerita ini dari serial buku “Chicken Soup for the Soul – Think Positive” karya “Jack Canfield,Mark Victor Hansen, dan Amy newmark”.
Saya merasa kalau cerita ini sangat menyadarkan saya akan suatu hal, yang tentunya sangat memotivasi. dan saya akan menuliskan kutipan cerita tersebut. saya rasa anda juga akan menemukan suatu hikmah dari cerita ini, karena kita memang mempunyai cerita masing- masing dan apa yg kita tarik dan temukan juga pasti berbeda,saya rasa anda mungkin akan mendapatkan kesimpulan yang berbeda dengan saya, dan ini kutipan cerita tersebut :

Terima kasih pak pengibar bendera
Bukanlah kedudukan yang membuat kita bahagia
Tetapi sikap kita

Antrean panjang lalu lintas jam sibuk mengular di jalan yang licin karena hujan saat aku memandang gugup ke arlojiku. 05.30! itu ketiga kalinya minggu ini aku terlambat menjemput anak- anak, dan pengasuh bayiku tidak akan senang. Ah, biarlah, kataku kepada diri sendiri. Keterlambatanku tidak bisa dihindari. Sepanjang hari semuanya kacau, mulai dari aki mobil yang mati pagi ini sampai ke tidak masuknya sekretaris sehingga seluruh kantor berantakan. Kemacetan lalu lintas ini sepertinya adalah akhir yang sempurna dari sebuah hari yang kacau.
Yang kuinginkan hanyalah pulang dan berendam di air hangat, menikmati ketenangan dan kedamaian. Tetapi aku tahu anak- anak akan mencari makan malam begitu kami memasuki pintu, dan pagi tadi aku meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan sehingga aku harus melakukan sesuatu sebelum suamiku pulang. Kemudian setelah makan malam, piring- piring kotor harus dicuci, makan siang untuk esok perlu dikemas, dan setumpuk pakaian kotor tidak bisa ditunda lagi, setelah itu, aku hanya ingin tidur, persis seperti malam- malam lain.
Aku menarik napas dengan keras meski tidak ada yang mendengar. Akhir- akhir ini hidupku tidak lebih dari siklus tanpa akhirdari pekerjaan rumah tangga, kerja, dan tidur, tanpa sesuatu yang emutus siklus monoton itu dan akhir pekan dipenuhi dengan lebih banyak tugas rumah tangga. Pasti ada yang lebih besar daripada hidup seperti ini. Aku rasa aku hanya terlalu sibuk dan terlalu lelah untuk mencarinya.
Dan kemudian aku melihatnya.
Petugas pengibar bendera berdiri seorang diri, nyaris tidak tampak kecuali rompi jingga menyalanya, ditengah jalan, dengan sabar mengarahkan lalu lintas empat jalur ke satu jalur. Tetapi ada sesuatu yang tidak biasa dari petugas pengibar bendera ini, dan saat aku memajukan mobil menunggu giliranku untuk lewat, aku menyadari sesuatu yang tidak biasa itu.
Berdiri ditengah lusinanpengguna jalan yang tidak sabar, basah kuyup, dan semakin kuyup dengan cipratan lumpur es, dia hanya tersenyum, dia melambaikan tangan. Tidak banyak yang membalas lambaiannya, tetapi beberapa orang membalasnya. Banyak dari mereka yang tersenyum.
Saat aku duduk menanti giliranku didalam mobilku yang hangat dan kering, aku mulai merasa malu. Jika pria ini, yang tidak melakukan apapun sepanjang hari kecuali melihat mobil lewat satu per satu, bisa berdiri di tengah hujan berjam- jam yang monoton dan masih bisa ramah kepada setiap orang lewat, apa hakku untuk mengeluhkan hiduppku ? aku memikirkan lagi apa yang ada dihadapanku malam ini – rumah yang nyaman, banyak makanan yang hanya perlu disiapkan dan yang terpenting, suami yang peduli dan anak- anak yang kucintai melebihi dari segalanya di dunia ini.
Dan esok ?  Esok aku mempunyai peluang untuk menggunaan keterampilan dan kecerdasanku untuk  melakukan pekerjaan yang bermanfaat dan penting. Seperti hidup yang kumiliki ? jelas hidup yang sangat indah.
Pada akhirnya tiba giliranku untuk melewati petugas bendera itu. Seperti diberi isyarat, kami berdua saling melambaikan tangan.
“Terima Kasih”, ucapku tanpa suara melalui jendela. Dia tersenyum dan mengangguk dan aku melanjutkan perjalanan dengan semangat terangkat dan sikap berubah. Dan dari kaca spion aku bisa melihat dia melambaikan tangan ke setiap mobil yang lewat.
Jennie Ivey